Kamis, 22 Maret 2012

DATU NAGA NINGKURUNGAN LOKSINAGA AMANDIT KANDANGAN

Di sebuah desa di Kalimantan Selatan tinggallah sebuah keluarga yaitu seorang suami, istri dan anaknya. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. Mereka bertiga hidup dari hasil bertani dan selalu mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. Sehingga mereka selalu berkecukupan. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang disebut dengan nama Lukloa atau Loksinaga yaitu suatu perkampungan yang tepatnya terletak di Kandangan ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ).
Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang Amandit ( sungai Amandit ) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menangkap ikan tersebut adalah tangguk ( alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa ).
Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka. Mereka hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya, “Istriku sayang… coba lihat apa yang aku bawa ini.” Sang istri langsung menoleh ke arah suaminya. “apa itu suamiku, telur apa itu ?”. Karena rasa curiganya dan was-was, sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang. “Kenapa harus dibuang istriku, ini nanti kan bisa untuk lauk kita?” Hari kan sudah semakin siang kita belum mendapatkan ikan untuk lauk makan hari ini. Apa tidak kasihan dengan anak kita, makan tanpa lauk karena kita belum mendapatkan ikan? “Sudahlah suamiku, buang saja telur itu, kita kan tidak tau asal usulnya telur itu”. Walau dengan berat hati dan perasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai Amandit.
“Sudahlah suamiku, ayo kita teruskan untuk mencari ikan, siapa tau Tuhan memberikan rizki untuk kita”. “Baiklah istriku, ayo kita teruskan mencari ikannya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya”. Petani tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari itu. Namun ternyata usaha mereka sia-sia belaka, tidak ada satu ekor ikan pun yang mereka dapatkan di hari itu. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke dalam tangguk mereka. Berkali-kali telur itu dibuang, tetap saja telur itu masuk kembali ke tangguknya. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk dijadikan lauk saat makan nanti.
Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur biasanya. Telurnya berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Saat sang istri memasak telur perasaannya selalu tidak enak. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur tersebut sang suami merasa kenyang. Tidak berapa lama kemudian tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik yang menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan sang suami berubah menjadi seekor naga yang berwarna putih dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar. Akibat dari perubahan sang suami yang menjadi seekor naga, sang istri dan anaknya merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil.
Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir sungai Amandit. Ternyata di dasar sungai Amandit ini sang naga mendapatkan liang ( lubang besar ) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan, maka sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya tersebut. Padahal, liang yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut merupakan tempat tinggal dari seekor naga yang berwarna Habang ( merah ) yang tadinya pergi mencari makan.
Ketika naga Habang kembali, dia sangat terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih. Keadaan itu membuat naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.
Naga Habang tidak bisa menerima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadilah sebuah perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang. Perkelahian ini akhirnya dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang baru didapatnya. Sang naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang. Saran ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.
Setelah pisau terpasang, dengan senang dan semangat naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian kali ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring buatan ( pisau ) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga Putih. Karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. Akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan akibat darah yang dikeluarkan dari tubuh naga Habang dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di langit senja.
Setelah pertarungan usai, sang naga Putih bergegas kembali menuju ke hulu sungai Amandit untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri. “Istriku sayang, aku datang membawa berita gembira”. “Kabar apa suamiku, kelihatannya gembira sekali ?” “Bagaimana tidak gembira, aku ternyata bisa mengalahkan si naga Habang itu. Ini semua berkat ide yang kau berikan serta doa tulus yang selalu kau berikan untukku. Aku merasa yakin bahwa kesetiaan dan cinta sucimu tetap seperti dulu. Meskipun aku telah berubah wujud menjadi seekor naga putih. Aku telah dapat mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami ( naga Putih ). Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka.
Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan tersebut adalah “apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku ( naga Putih ), maka akan turunlah hujan, setelah itu panas, kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. Selagi masih ada pelangi di angkasa, itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai saat ini, panggillah aku ( naga Putih ) dengan sebutan Balahindang”. Balahindang kemudian kembali ke liangnya ke dasar sungai Amandit dan bersemayam disana untuk selama-lamanya.
Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian kisah ini diyakini oleh sebagian masyarakat Kandangan, khususnya orang-orang tua yang berada di daerah Lukloa, di aliran sungai Amandit, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.